Senin, 27 Desember 2010

Tuhan, Dimanakah Engkau?

Saya rindu bertemu dengan Tuhan. Saya rindu bertutur sapa dengan Tuhan. Seringkali kita membayangkan Tuhan bisa datang dalam wujud konkrit, yang bisa ditangkap oleh salah satu panca indera kita. Dan karena pencarian kita sangat tergantung akan panca indera kita, maka seringkali semuanya menjadi frustasi. Bersedih karena ternyata Tuhan hanya menampakkan diri pada beberapa orang "pilihan".

Ada beberapa hal yang seringkali terluput dari indera kita. Bahwa Tuhan hadir dan selalu dekat dengan kita. Baik ketika kita senang, maupun susah. Tuhan hadir dalam diri orang-orang yang kita temui. Baik itu orang baik maupun orang jahat.

Dalam Injil Matius 25:40, dalam perumpamaan tentang Penghakiman Terakhir, Tuhan kita Yesus berkata:
Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu melakukannya untuk Aku.

dan seringkali kita tidak menyadari bahwa Tuhan hadir dalam anggota keluarga kita, seperti kata Rasul Paulus kepada umat di Kolose (Kolose 3:18-21):

Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.
Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.
Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan.
Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.

Rasul Paulus menunjukkan bahwa hubungan antara anggota keluarga adalah selayaknya hubungan manusia dengan Tuhan. Sehingga demikianlah terjadi Tuhan hadir di dalam anggota keluarga kita.

Sayup-sayup Tuhan berbicara kepada kita, baik melalui pertengkaran, kemarahan, kekecewaan, patah hati, kesakitan, ataupun melalui guyonan, canda, tertawa, kebersamaan, dan cinta dari anggota keluarga maupun dari lingkungan kita.

Minggu, 26 Desember 2010

Lemah Lembut dan Rendah Hati

Setiap hari orang saling mencaci satu sama lain. Sedikit perbedaan pendapat, maka akan muncul keinginan untuk mengeluarkan "argumentasi" yang menurut mereka adalah pilihan tercerdas dalam menyelesaikan masalah. Seringkali argumentasi didasarkan pada pikiran pribadi, atau kelompok, yang dituangkan atas nama kepentingan bersama.

Kata-kata keras dan "lugas" menjadi pilihan banyak orang di saat ini. Dan seringkali tanpa malu-malu orang mulai mengatakan isi-isi pikirannya tanpa memandang situasi, atau orang yang ada di sisinya. Dengan menggunakan media sosial yang tersedia, banyak manusia yang berpendapat mereka dapat mengatakan apa saja, dan itu hanya sebuah pernyataan, sehingga orang lain tidak perlu sakit hati ketika menanggapinya.

Tetapi dengan melihat tujuan bertutur di media sosial, bukankah maksudnya agar isi pikiran kita menjadi terlihat oleh pihak seberang yang membaca? Dan bukankah tidak semua isi pikiran kita akan menjadi hal yang nyaman bagi pihak yang membaca? Dan bukankah dalam banyak aspek kehidupan, seringkali kita harus menyimpan isi pikiran kita untuk diri kita sendiri?

Tuhan kita adalah Tuhan yang lemah lembut dan penuh kerendahan hati, dia menunjukkan dirinya dalam bentuk yang lemah, tetapi dia kuat adanya, seorang Raja tetapi tidak meninggikan diri:

Katakanlah kepada putri Sion: Lihat, Rajamu datang kepadamu, Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda (Matius 21:5)

Dan juga beberapa hal ditunjukkan Tuhan kita mengenai kelemahlembutan:

Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi (Matius 5:5)

Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati, dan jiwamu akan mendapat ketenangan (Matius 11:29)

Maka mulut dan pikiran kita baiklah penuh dengan kelemahlembutan dan kerendahan hati. Tidak mengikuti arus dunia yang penuh dengan kata-kata tajam dan kasar, atau sikap yang sarkastik dan sinis, karena demikianlah yang diajarkan Tuhan kita.

Menjadi sarkas dan sinis adalah sebuah trend baru, tetapi kelemahlembutan tidak pernah ketinggalan jaman

Selasa, 21 Desember 2010

Kemarahan dan Pengendalian Diri

Merasa dipersalahkan, hati menjadi panas. Isi pikirannya berputar-putar di sekitar hal-hal yang tidak perlu dipermasalahkan. Jiwanya juga penuh dengan kebencian. Karena kebencian menutupi mata hati, maka menjadi buruklah keseluruhan hari.

Sudah sangat dekat dengan hari Natal, tetapi hati ini hanya berisi keluhan, permohonan, dan kemarahan; bukan kegembiraan, ucapan syukur, dan kedamaian. Begitu kontras warna hati ini dengan warna yang seharusnya ada di musim Natal seperti ini. Bagi sebagian orang, Natal adalah perayaan. Bagi Yesus (yang diperingati lahir di hari Natal), lahir di dunia adalah membawa kedamaian dan sukacita. Ia membawa kehidupan yang baru, yang tidak mengindahkan kaidah lama yang bersifat pembalasan.

Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. (Matius 5:22)

Karena dari kemarahan akan muncul kebencian, dari kebencian akan muncul tindakan-tindakan buruk lainnya. Seperti halnya dalam kehidupan keseharian, untuk menyelesaikan sebuah permasalahannya, maka akar masalah harus dituntaskan. Demikian juga kemarahan yang merupakan akar masalah dari setiap kebencian, perlu dikendalikan.

Senin, 06 Desember 2010

Karena Bahagia adalah Menerima dan Bersyukur akan Hidup Ini

Ketika hati gembira, di sanalah Tuhan akan bekerja
Ketika hati berbahagia, baiklah Tuhan yang dipuja
Karena hati yang damai adalah dari Tuhan semata
Karena hati yang bahagia adalah anugrah Tuhan saja

Dan demikianlah saya dicukupkan tiap harinya, sedikit demi sedikit untuk segala kebutuhan saya. Untuk semua hal yang perlu bagi saya dalam melanjutkan kehidupan saya, untuk segala sesuatu yang dapat membantu orang lain untuk hidup dengan lebih baik.

Seringkali saya merasa kuatir dan sedih untuk hal-hal yang belum saya alami. Atau menjadi takut karena teringat akan hal-hal yang telah saya lalui. Seringkali juga saya menjadi tidak mampu karena ketakutan akan kata-kata orang, tetapi ketika saya berkata, "Ya Tuhan, saya mau berusaha di jalan yang telah Engkau tetapkan dan menikmati segala sesuatu yang telah Engkau siapkan bagiku," maka ketika itu juga saya menjadi seorang yang bahagia.

Sebab ada tertulis, "(25) Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? (26) Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? (27) Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? (28) Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal, (29) namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannyapun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu. (30) Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya? (31) Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? (32) Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. (33) Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. (34) Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari."

Dalam segala kebahagiaan itu hendaknya saya tidak melupakan Tuhan yang merupakan sumber kebahagiaan tersebut.

Kamis, 25 November 2010

Dan Semoga Kamu Baik-baik Saja

Beberapa waktu belakangan ini rasanya hatinya kering sekali. Kalau bisa saya istilahkan bahwa saya sedang berada dalam kemarau panjang. Di mana sungai mulai mengering, tanah mulai pecah, dan tetumbuhan (firman Tuhan) mulai mati di dalam hati saya.

Saya berusaha berdoa, tapi tidak ada yang terucap. Saya berusaha mengikuti misa, tapi keluar dengan keadaan kosong. Hidup seperti sebuah litani, yang diucapkan tanpa sadar, tetapi tidak memberikan makna yang mendalam.

Terlebih lagi dengan hubungan rumah tangga yang kurang baik, kelelahan dengan tugas dan pekerjaan, kekhawatiran akan rencana masa depan. Lalu saya hanya bisa memohon, dan meminta, berhati kikir dan berjiwa peminta-minta. Musim kemarau panjang dengan terik matahari yang sangat besar seperti bersekutu untuk mematikan hatiku.

Tapi seperti setiap hari, Tuhan memang mengizinkan musim kemarau untuk membuat kita menghargai hujan. Juga halnya Dia memberikan hal itu agar kita mempelajari cara untuk tetap bercocok tanam (iman) di masa-masa kering. Sehingga meskipun hasil yang ada tidaklah banyak, tetapi tetap cukup untuk penghidupan keseharian.

Musim kemarau diakhiriNya dengan dibukakannya mata hati, akan pengampunan, akan kedamaian, akan kebaikan, dan kemudian akan syukur. Oleh karena itu kita harus mengasihi musuh kita (Matius 5:44) , berbuat baik kepada mereka yang membenci kita(Lukas 6:27), penuh kasih karunia seorang akan yang lain (Yohanes 15:17), sehingga semua amarah, kebencian, dan sakit hati diubahkan menjadi kasih karunia (Filipi 4:9), dan nama Kristus menjadi besar di dalam tindakan kita, sebagai anak-anak Allah.

Minggu, 10 Oktober 2010

Am I Losing Something?

Am I losing something or it's me who is too stupid to see.

Beberapa hari ini, atau mungkin kalau saya bisa bilang dua hari ini, sahabat-sahabatku (saya tidak akan menyebut mereka sebagai teman, karena mereka sudah melalui garis itu) seperti sibuk sendiri, atau berlaku seolah tidak membutuhkan saya.

Stupid tought! Mereka selalu support saya kan? Mereka juga seringkali memberikan kata-kata yang menghibur, atau mengajak bertemu, tapi banyak kali saya yang menghindar. Huh… Sedikit banyak saya takut. Di sisi lain saya mungkin sedang butuh kasih sayang (lebaaaay)? Atau ini adalah siklus depresi yang dua tahun lalu saya pernah alami dan beberapa kali dalam siklus ketika sedang kuliah dulu.

Lalu mengapa? Mengapa semuanya tampak seperti begitu menyebalkan? Mengapa mereka sepertinya tidak peduli? Atau mungkin yang perlu saya lakukan hanya bekerja dan memperhatikan apa yang ada pada saya tanpa memperdulikan apa yang tidak ada pada saya.

Sabtu, 04 September 2010

Kontemplasi (1)

Lukas 5:33-35

33 Orang-orang Farisi itu berkata pula kepada Yesus: "Murid-murid Yohanes sering berpuasa dan sembahyang, demikian juga murid-murid orang Farisi, tetapi murid-murid-Mu makan dan minum." 34 Jawab Yesus kepada mereka: "Dapatkah sahabat mempelai laki-laki disuruh berpuasa, sedang mempelai itu bersama mereka? 35 Tetapi akan datang waktunya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa."

Hari Sabtu seorang diri ternyata merupakan hari yang baik untuk melakukan semua pekerjaan kecil yang sering kali menjadi nomor sekian dalam hidup kita. Mulai dari membersihkan rumah, membersihkan kendaraan, berolahraga kecil, hingga kemudian membersihkan hati dengan kontemplasi.

Hari Jumat yang lalu dalam misa pagi harian, pastor membahas tentang kontemplasi. Kurang lebih arti dari kontemplasi (dari bahasa Yunani) adalah memikirkan sesuatu untuk menjadi lebih baik. Jadi kontemplasi tidak berlaku untuk pemikiran jahat atau usaha-usaha untuk melakukan sesuatu yang buruk. Sangatlah baik bila seseorang memberikan waktu bagi dirinya sendiri dan Tuhan untuk saling bercakap-cakap, untuk memeriksa kembali beberapa kejadian yang masih hangat di ingatannya bagi kepentingan kemajuan jiwanya.

Kontemplasi sendiri tidak mencakup penyesalan-penyesalan berkepanjangan, atau gerutu kemarahan yang tidak berkesudahan. Penyesalan dan gerutu yang terjadi perlu diikuti dengan perbaikan untuk menjadikannya sebuah kontemplasi yang baik. Penguasaan diri mungkin akan menjadi hasil akhir yang baik untuk kontemplasi tersebut. Tujuan akhir dari kontemplasi adalah pencapaian kehidupan rohani yang baik, yang manusiawi, dan yang bercahaya.

Kejasmanian bukanlah sesuatu yang utama, tetapi bagaimana kita menjadi sebuah sosok rohani yang baik, memperlakukan manusia dengan baik, menjadikan manusia lain sungguh manusia, serta memperlakukan diri sendiri sebagai manusia (dan bukan setengah dewa).

Demikianlah kita perlu berkontemplasi, menahan diri, dan berpuasa setiap hari, untuk menjadikan manusia yang penuh, manusia yang sungguh.

Senin, 30 Agustus 2010

Tinggi-Rendah Sama Saja?

Lukas 14:8-11

"Kalau seorang mengundang engkau ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan, sebab mungkin orang itu telah mengundang seorang yang lebih terhormat dari padamu, supaya orang itu, yang mengundang engkau dan dia, jangan datang dan berkata kepadamu: Berilah tempat ini kepada orang itu. Lalu engkau dengan malu harus pergi duduk di tempat yang paling rendah.  Tetapi, apabila engkau diundang, pergilah duduk di tempat yang paling rendah. Mungkin tuan rumah akan datang dan berkata kepadamu: Sahabat, silakan duduk di depan. Dan dengan demikian engkau akan menerima hormat di depan mata semua tamu yang lain. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."

Dan beginilah saya sendiri sering berharap. Saya mendapatkan penghormatan atas segala pekerjaan saya. Saya diakui di muka umum akan kelakuan saya. Dan saya dicintai semua orang karena kehebatan saya.

Tetapi saya sendiri sering lupa -Mungkin bukan lupa, tapi pura-pura tidak tahu- bahwa kerendahan hati adalah sebuah keutamaan, dan kesederhanaan adalah sesuatu yang baik adanya. Bukan pameran, ajang penunjukan diri, atau pemujaan.

Tuhan, saya mau menjadi orang yang baik, seperti kehendakMu. Saya harap ini tidak hanya tinggal di dalam diri saya saja, tetapi bisa menjadi sesuatu yang bergerak dan nyata dalam kehidupan saya.

Mulai Dari Awal

Memulai sesuatu yang baru lagi. Sudah lama tidak menulis. Saya rasa saya harus memulai sesuatu yang lebih berarti lagi. Mungkin hanya untuk kontemplasi diri sendiri, untuk membantu menenangkan diri sendiri, untuk membangun diri sendiri, untuk menyenangkan diri sendiri, atau sekedar bercerita bahwa setiap harinya ada sesuatu yang terjadi dalam hidup ini. Sederhana atau luar biasa, hebat ataupun memalukan, kaya ataupun miskin. Hanya sedikit bercerita, tanpa kemarahan (diusahakan), tanpa kesedihan (semoga bisa), dan tanpa kata-kata kasar.

Saya sebenarnya sangat berharap bahwa menulis bisa membawa saya pada sebuah tingkatan hidup yang lebih baik. Saya dapat menjadi lebih dewasa, menjadi manusia yang sungguh manusia, yang memanusiakan manusia, dan memandang segala sesuatu sebagai bentuk kehidupan yang berujung pada kebaikan. Semoga anda sendiri tertarik dengan hal-hal seperti ini.