Beberapa waktu belakangan ini rasanya hatinya kering sekali. Kalau bisa saya istilahkan bahwa saya sedang berada dalam kemarau panjang. Di mana sungai mulai mengering, tanah mulai pecah, dan tetumbuhan (firman Tuhan) mulai mati di dalam hati saya.
Saya berusaha berdoa, tapi tidak ada yang terucap. Saya berusaha mengikuti misa, tapi keluar dengan keadaan kosong. Hidup seperti sebuah litani, yang diucapkan tanpa sadar, tetapi tidak memberikan makna yang mendalam.
Terlebih lagi dengan hubungan rumah tangga yang kurang baik, kelelahan dengan tugas dan pekerjaan, kekhawatiran akan rencana masa depan. Lalu saya hanya bisa memohon, dan meminta, berhati kikir dan berjiwa peminta-minta. Musim kemarau panjang dengan terik matahari yang sangat besar seperti bersekutu untuk mematikan hatiku.
Tapi seperti setiap hari, Tuhan memang mengizinkan musim kemarau untuk membuat kita menghargai hujan. Juga halnya Dia memberikan hal itu agar kita mempelajari cara untuk tetap bercocok tanam (iman) di masa-masa kering. Sehingga meskipun hasil yang ada tidaklah banyak, tetapi tetap cukup untuk penghidupan keseharian.
Musim kemarau diakhiriNya dengan dibukakannya mata hati, akan pengampunan, akan kedamaian, akan kebaikan, dan kemudian akan syukur. Oleh karena itu kita harus mengasihi musuh kita (Matius 5:44) , berbuat baik kepada mereka yang membenci kita(Lukas 6:27), penuh kasih karunia seorang akan yang lain (Yohanes 15:17), sehingga semua amarah, kebencian, dan sakit hati diubahkan menjadi kasih karunia (Filipi 4:9), dan nama Kristus menjadi besar di dalam tindakan kita, sebagai anak-anak Allah.